taken from LOUD Music Magazine, edisi Oktober 10/II/09
Editor's Note
by Ridho Hafiedz
Banyak yang berasumsi eksistensi sebuah band dilihat dari album ke tiga dan seterusnya. Kita tau dan faktanya memang banyak band-band yang setelah album pertama langsung meredup, dan memang bisa kita lihat faktanya di lima tahun terakhir industri musik kita. Ternyata memang banyak faktor yang menjadi akibat mengapa bisa seperti itu. Dari beberapa teman, gue mendapat berita kalo ada band yang merasa puas dengan kesuksesan saat ini, ada band yang tidak memiliki planning yang matang atau cuma latah terhadap trend musik saat ini, faktor managerial yang gak jelas dan lain-lain.
Memang seharusnya di saat kondisi industri musik kita yang lagi "gini" strategi management harus jitu, gak bisa hanya nunggu bola atau puas dengan ketenaran sesaat. Band yang kuat adalah band yang memiliki strategi marketing yang bagus, efisien dan siap jadi "sales" tapi tidak "melacur". Kesalahan sistem yang disebutkan tadi menjadi salah satu mengapa mereka gak bisa survive, karena berpikir udah mentok dan gak bisa bikin apa-apa lagi akhirnya bubar.
Ada teman yang datang dan curhat kalo dia udah mulai jarang show off air, gara-gara promotor lebih tertarik dengan band murah yang gak macam-macam. Bahkan katanya ada band yang cukup dikenal yang mau dibayar 10 juta untuk tiga titik show, waw...Kalo gini sistem profesional emang gak akan bisa hidup. Menurut dia, alasan promotor dengan membawa tiga band murah toh sama-sama saja dengan membawa satu band gede bahkan jumlah penonton juga sama saja. Tapi kalo pemikiran bisnisnya begini memang kita akan kehilangan show yang berkualitas, alasan gue ya memang harga gak akan bohong.
Oct 26, 2009
Masih Ada Juga Orang Selicik Ini.....
Tulisan pengalaman ini diambil dari majalah mini LOUD Music Magazine milik Ridho Hafiedz (gitaris Slank) edisi Oktober 10/II/09
Teman
oleh Denny MR
Handphone di saku celana saya tiba-tiba menjerit. Di seberang sana terdengar suara sumringah. Teman saya, seorang musisi yang baru merilis album, mengajak pergi ke suatu pertunjukkan amal yang seluruh hasil penjualan tiketnya akan disumbangkan buat saudara-saudara kita yang tertimpa musibah gempa, nun di Padang sana. Bersama band-nya, dia menjadi salah satu penampil. Tanpa imbalan sepeser pun, namanya juga acara amal. Biasa.
"Gue belum mampu nyumbang duit nih. Tapi dengan ikutan konser itu, minimal nabung pahala lah," katanya penuh semangat, sama bersemangatnya ketika memaksa saya untuk menjadi saksi dari momen kemanusiaan tersebut.
Pertunjukkan musik atas nama solidaritas belakangan ini memang marak digelar. Banyak banget yang terlibat. Dari berbagai unsur media massa seperti media cetak dan elektronik, televisi swasta, sampai pejabat daerah yang tiba-tiba saja merasa harus turun tangan. Karena serba spontan, suasana pertunjukkan sering lebih mirip kenduri ketimbang sebuah pentas seni musik. Tentu ini bisa dimaklumi. Ketika negeri ini dilanda musibah, spirit kebersamaan menempati prioritas di atas segalanya. Pertunjukkan bertema serupa pun berkali-kali saya satroni. Dari satu panggung ke panggung lain. Dari musisi papan atas sampai musisi yang baru membentuk band beberapa jam sebelum pertunjukkan itu sendiri. Saya mulai terbiasa menyaksikan pejabat ini atau pejabat itu memberi kata sambutan. Nanti wajah mereka akan disorot kamera televisi, kan lumayan. Jujur saja, kebanyakan pidatonya garing alias membosankan. Tetapi, atas nama spirit kebersamaan pula, saya manut saja waktu si teman datang menjemput dengan kostum sudah 'siap tempur'. Seperti dia, saya merasa belum mampu memberi sumbangan duit untuk meringankan penderitaan warga Padang dan sekitarnya. Dengan memberi dukungan semangat untuk si teman, saya lantas meyakinkan diri sendiri bahwa untuk beramal banyak cara bisa dilakukan.
Seperti pada pertunjukkan-pertunjukkan sebelumnya, pemandangan serupa kembali berlangsung di depan mata. Satu per satu musisi menampilkan karya terbaiknya dan sebisa mungkin memilih lagu dengan tema yang mendekati konsep acara. Seperti hari-hari sebelumnya pula, acara didahului oleh pidato pembukaan pejabat dan di penghujung acara berlangsung penyerahan sumbangan hasil penjualan tiket atau lelang suatu barang berharga. Adapun si teman, di luar dugaan, ikut menyerahkan gitar kesayangannya untuk dilelang, padahal di perjalanan menuju venue sama sekali tidak menyinggung rencana tersebut. Diam-diam saya merasa begitu kecil dibanding dirinya. Adegan penyerahan gitar sangat menguras emosi. Asli mengharukan. Dalam perjalanan pulang dengan tubuh masih bersimbah peluh, teman saya menyatakan tekad untuk terus mendukung acara yang diperuntukkan bagi kemanusiaan.
Beberapa hari kemudian, handphone di saku celana saya kembali menjerit. Teman saya lagi. Tapi ada yang berubah. Kali ini suaranya tidak sumringah seperti beberapa hari lalu. Dari mulutnya meluncur sumpah serapah dengan kosa kata yang tidak mungkin saya tulis di sini. Usut punya usut, si teman baru saja mendapat berita dari temannya, bahwa panitia pertunjukkan amal tempo hari sudah pada ganti handphone semua.
"Nggak semua hasil pertunjukkan disumbangkan, man!"
Saya melongo. Edan! Di tengah lautan kesedihan, masih saja ada segelintir manusia yang memanfaatkan penderitaan orang lain. Panitia sialan itu bukan cuma menjadikan korban gempa sebagai lahan bisnis, melainkan juga memanfaatkan empati teman saya yang sudah dengan suka rela melepas gitar kesayangannya.
Teman
oleh Denny MR
Handphone di saku celana saya tiba-tiba menjerit. Di seberang sana terdengar suara sumringah. Teman saya, seorang musisi yang baru merilis album, mengajak pergi ke suatu pertunjukkan amal yang seluruh hasil penjualan tiketnya akan disumbangkan buat saudara-saudara kita yang tertimpa musibah gempa, nun di Padang sana. Bersama band-nya, dia menjadi salah satu penampil. Tanpa imbalan sepeser pun, namanya juga acara amal. Biasa.
"Gue belum mampu nyumbang duit nih. Tapi dengan ikutan konser itu, minimal nabung pahala lah," katanya penuh semangat, sama bersemangatnya ketika memaksa saya untuk menjadi saksi dari momen kemanusiaan tersebut.
Pertunjukkan musik atas nama solidaritas belakangan ini memang marak digelar. Banyak banget yang terlibat. Dari berbagai unsur media massa seperti media cetak dan elektronik, televisi swasta, sampai pejabat daerah yang tiba-tiba saja merasa harus turun tangan. Karena serba spontan, suasana pertunjukkan sering lebih mirip kenduri ketimbang sebuah pentas seni musik. Tentu ini bisa dimaklumi. Ketika negeri ini dilanda musibah, spirit kebersamaan menempati prioritas di atas segalanya. Pertunjukkan bertema serupa pun berkali-kali saya satroni. Dari satu panggung ke panggung lain. Dari musisi papan atas sampai musisi yang baru membentuk band beberapa jam sebelum pertunjukkan itu sendiri. Saya mulai terbiasa menyaksikan pejabat ini atau pejabat itu memberi kata sambutan. Nanti wajah mereka akan disorot kamera televisi, kan lumayan. Jujur saja, kebanyakan pidatonya garing alias membosankan. Tetapi, atas nama spirit kebersamaan pula, saya manut saja waktu si teman datang menjemput dengan kostum sudah 'siap tempur'. Seperti dia, saya merasa belum mampu memberi sumbangan duit untuk meringankan penderitaan warga Padang dan sekitarnya. Dengan memberi dukungan semangat untuk si teman, saya lantas meyakinkan diri sendiri bahwa untuk beramal banyak cara bisa dilakukan.
Seperti pada pertunjukkan-pertunjukkan sebelumnya, pemandangan serupa kembali berlangsung di depan mata. Satu per satu musisi menampilkan karya terbaiknya dan sebisa mungkin memilih lagu dengan tema yang mendekati konsep acara. Seperti hari-hari sebelumnya pula, acara didahului oleh pidato pembukaan pejabat dan di penghujung acara berlangsung penyerahan sumbangan hasil penjualan tiket atau lelang suatu barang berharga. Adapun si teman, di luar dugaan, ikut menyerahkan gitar kesayangannya untuk dilelang, padahal di perjalanan menuju venue sama sekali tidak menyinggung rencana tersebut. Diam-diam saya merasa begitu kecil dibanding dirinya. Adegan penyerahan gitar sangat menguras emosi. Asli mengharukan. Dalam perjalanan pulang dengan tubuh masih bersimbah peluh, teman saya menyatakan tekad untuk terus mendukung acara yang diperuntukkan bagi kemanusiaan.
Beberapa hari kemudian, handphone di saku celana saya kembali menjerit. Teman saya lagi. Tapi ada yang berubah. Kali ini suaranya tidak sumringah seperti beberapa hari lalu. Dari mulutnya meluncur sumpah serapah dengan kosa kata yang tidak mungkin saya tulis di sini. Usut punya usut, si teman baru saja mendapat berita dari temannya, bahwa panitia pertunjukkan amal tempo hari sudah pada ganti handphone semua.
"Nggak semua hasil pertunjukkan disumbangkan, man!"
Saya melongo. Edan! Di tengah lautan kesedihan, masih saja ada segelintir manusia yang memanfaatkan penderitaan orang lain. Panitia sialan itu bukan cuma menjadikan korban gempa sebagai lahan bisnis, melainkan juga memanfaatkan empati teman saya yang sudah dengan suka rela melepas gitar kesayangannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)